Rabu, Juni 12, 2013

Perempuan Berhati Nurani Murni

Siapa yang tidak kenal Angelina Sondagh, Vena Melinda, Inggrid Kansil, Rahel Mariam, Rieke Diah Pitaloka, Wanda Hamidah atau Oki Asokawati ? Mungkin diantara kita akan menjawab mereka adalah artis-artis papan atas Indonesia. Jawaban itu tidaklah salah, tetapi jangan lupa bahwa saat ini kiprah perempuan-perempuan ini juga sebagai anggota legislatif, meski ada diantaranya telah dinonaktifkan karena keterkaitannya dalam kasus korupsi. Kelebihan dari perempuan-perempuan cantik ini karena sebelum menjadi anggota legislatif, masyarakat telah mengenalnya terlebih dahulu di dunia seni. Jika dahulu kehadiran mereka dapat kita saksikan dilayar kaca dengan mempertontonkan keahlian mereka di bidang seni, tetapi kini kita masih dapat menyaksikan mereka juga dilayar kaca tetapi dengan pertunjukan yang berbeda yaitu menyuarakan aspirasi masyarakat dibawa naungan partai dimana mereka menjadi kader.

Perempuan-perempuan yang berkiprah dilegislatif, tidak semata hanya dari kalangan artis saja, tetapi banyak juga dari kalangan orang biasa. Bahkan dari tahun ke tahun quota legislatif untuk perempuan terus bertambah. Jika dalam pemilu tahun 1999, jumlah keterwakilan perempuan hanya sebesar 9% saja, tetapi pada tahun 2004 meningkat menjadi 101 orang, atau hanya 11%. Kemudian pada pemilu berikutnya yaitu pada tahun 2009 persentasi ini naik sebanyak 6%  menjadi 17 %. Meski saat itu, digadang-gadang bahwa keterwakilan perempuan di parlemen mencapai 30% tetapi pada kenyataannya hal tersebut tidak tercapai. 

Apapun alasan tidak sampainya kuota tersebut untuk kaum hawa, cerita lain bahwa perempuan telah menjadi bagian penting bagi sejarah parlemen di Indonesia. Dalam proses demokrasi di negara ini, persoalan partisipasi perempuan juga merupakan prasyarat mutlak bagi terwujudnya demokrasi yang lebih bermakna di Indonesia. Selain itu meningkatnya kesempatan bagi perempuan Indonesia untuk berpartisipasi dalam politik sesuai dengan amanat Undang-Undang No,31 Tahun 2002 tentang Partau Politik dan Undang-Undang No.12 tahun 2003 tentang Pemilu. Ini berindikasi bahwa perempuan dapat berkarya dan partisipasi dalam segala bidang termasuk di legislatif.

Dalam sejarah peradaban manusia, perempuan selalu menjadi warga negara kelas dua (minoritas) meski dalam kuantitatif jumlah penduduk dunia, perempuan merupakan posisi pertama. Bahkan dalam budaya, perempuan selalu diidentikkan hanya sebagai pelengkap penderita bagi kaum laki-laki. Namun perjuangan kaum feminis untuk mengangkat derajat kaum perempuan tidak pernah berhenti, sehingga menempatkan perempuan pada posisi yang sama dengan laki-laki sekaligus juga sebagai penentu keputusan penting. Ini bisa terlihat dari banyaknya perempuan yang berkarier dan menempati posisi-posisi penting dalam sebuah institusi. Bahkan dalam pmerintahan (eksekutif), yudikatif hingga legislatif, ‘perempuan’ bukan lagi kaum yang ‘aneh’ di tempat-tempat tersebut. Artinya kini perempuan telah diakui ‘setara’ dengan kaum laki-laki. Badan dunia Inter Parliamentary Union (IPU) mencatat bahwa sebanyak 19,1% anggota parlemen adalah perempuan (akhir tahun 2010). Hal ini sebenarnya merupakan progres yang dinilai lambat karena 10 tahun yang lalu yaitu tahun 2000 keterwakilan perempuan dalam legislatif sudah diangka 13%. Tetapi sebanyak 43 parlemen telah memenuhi target PBB untuk memiliki 30% anggota perempuan. Sementara dua negara telah memiliki kepala parlemen perempuan untuk pertama kalinya yaitu Mozambigue dan Tanzania (sumber:www.dpr-ri-berita).

Tetapi yang kemudian menjadi pertanyaan penting adalah seberapa jauh peran perempuan tersebut dalam legislatif? Apakah karena jaman telah menuntut keterwakilan perempuan sehingga perempuan itu harus ada, ataukah kehadiran mereka tersebut seharusnya bisa memberikan sumbangsi positif bagi pembangunan bangsa? Besar atau kecilnya secara kuantitatif keterwakilan perempuan pada parlemen bisa jadi menjadi persoalan dalam penentuan suara, hanya saja yang terpenting adalah jika perempuan yang ‘hadir’ disitu benar-benar sebagai perempuan yang bisa “bersuara”. Karena itu sangat dibutuhkan perempuan yang memiliki kualitas, baik dari segi intelektual maupun skill. Karena bagaimana pun juga peranan kaum ini bagaikan saluran air yang telah terbuka lebar sehingga perjuangan akan lebih mudah dilakukan untuk dapat sampai pada posisi ‘melawan’ patriaki terutama dalam keputusan-keputusan penting dalam sidang-sidang baik di komisi maupun paripurna. Kaum perempuan juga wajib memiliki suara vokal dan kritis untuk setiap persoalan yang dibahas. Dan tentunya hal ini tidak dapat diperoleh dalam waktu yang singkat.Diperlukan pembelajaran yang panjang baik secara formal maupun non formal. 

Kehadiran perempuan di parlemen bukan saja karena “latah” atau karena sudah memiliki nama yang tenar terlebih dahulu, atau memang karena ingin mencari pekerjaan karena tergiur dengan gaji yang tinggi. Apapun alasan motivasi, kembali lagi bahwa orang-orang yang duduk diparlemen (khususnya perempuan) sepantasnya adalah orang-orang yang bermutu. Bermutu tidak hanya dalam taraf intelektual dan skill tetapi juga bermutu dalam hal mental. 

Mengapa demikian? Karena berkarya di parlemen, sama saja berkarya di tempat kerja lainnya. Pasti dituntut ada hasil kerja yang memuaskan, ada tekanan-tekanan pekerjaan. Dan hanya membedakan karena dilegislatif, seluruh masyarakat Indonesia yang akan menjadi ‘hakim’ bagi setiap anggota parlemen untuk apa yang sudah mereka kerjakan. Disamping itu perempuan juga sangat rentan untuk diposisikan pada tempat yang tidak nyaman alias intrik-intrik yang penuh dengan tekanan. Contoh kasus Angelina Sondagh dan Waode, dua perempuan mantan legislatif yang terlibat kasus korupsi yang sedang menjalani putusan pengadilan. Mungkin kebetulan saja mereka adalah perempuan, tetapi pengalaman ini hendaklah bisa menjadi pembelajaran berharga bagi legislatif perempuan lainnya untuk tetap berjalan pada koridor yang benar sekalipun harus meng’hianati’ partai. Sulit memang, tetapi itulah sebuah perjuangan yang sesungguhnya. Karena saat ini Indonesia membutuhkan sosok-sosok yang memiliki hati nurani yang murni untuk perjuangan bangsa dan negara. Semoga itu masih ada. Maju terus perempuan-perempuan Indonesia (IJ).

Kumpulan Artikel

'........melihat, mengamati,merasakan, dan menuangkannya dalam tulisan.....'