Sabtu, Oktober 13, 2007

Dua Anak cukup = Dua Anak Lebih Baik

'Banyak anak banyak rezeki’, begitu kata seorang teman kepadaku saat kelahiran anaknya yang ke 5. Saya tidak tahu persis apa dia mengatakan hal itu karena memang merasa semakin banyak anak, rezekinya semakin bertambah atau kalimat itu hanya dipakai sebagai alasan karena dia dan isteri tidak menyangka bakal mempunyai anak ke 5 lagi (karena menurutnya anak kelima mereka ini sama sekali tidak direncanakan). Ataukah temanku yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil ini hanya ikut-ikutan latah mengucapkan kata-kata ini yang sudah sering didengar sejak zaman dahulu kala. Entahlah, hanya dia yang tahu jawabannya.

Tapi kalau saya yang harus menjawabnya, pasti saya akan bertanya kembali, masak sih banyak anak banyak rezeki? Terus terang saya tidak yakin. Karena berdasarkan pengalaman pribadi, kalimat itu tidak memberikan bukti bagiku. Keluargaku bisa dikatakan keluarga besar, orang tuaku memiliki 7 orang anak, saya anak paling bungsu. Bapak bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil dan Ibuku yang hanya sebagai ibu rumah tangga biasa. Dan semakin banyak anaknya semakin sulit terasa hidup ini, karena semua anaknya butuh sekolah, butuh makan, butuh keperluan lain-lain yang tidak mungkin dipenuhi hanya dengan gaji seorang pegawai negeri seperti bapak. Hidup ini semakin runyam kurasakan saat bapak meninggal dunia disaat kami anak-anaknya semua masih sekolah. Ada yang masih kuliah, SMA, dan aku sendiri masih SMP. Saat itu yang kupikir hanya satu yang penting bisa tamat sekolah sampai SMA saja sudah beruntung sekali dari pada harus putus sekolah ditengah jalan. Singkat cerita dengan susah payah karena faktor ekonomi akhirnya saya bisa tamat SMU dan juga tamat sarjana, meski kakak-kakakku ada yang hanya tamat SMA saja. Dalam hati aku selalu berandai-andai seandainya bapak ibuku punya 2 anak saja, mungkin anak-anaknya bisa menikmati pendidikan dengan baik dan berbagai keperluan bisa teratasi. Dari pengalaman inilah yang membuatku selalu berjanji nanti kalau sudah menikah jangan sampai punya anak banyak seperti orangtuaku, dua anak saja lebih baik.

Mungkin pengalamanku diatas tidak dialami orang lain yang juga memiliki keluarga besar, atau justru banyak orang yang bernasib sama sepertiku. Tapi ada baiknya pengalaman ini menjadi bahan perenungan. Apalagi saat ini meski pembangunan sedang berjalan, namun ketimpangan ekonomi di berbagai sektor masih saja terjadi. Kemiskinan sangat dekat dengan berjuta orang di negeri ini. Pengangguran setiap tahun makin bertambah, pengemis, anak jalanan dan gelandangan juga makin banyak, namun tidak mampu ditangani dengan tuntas oleh pemerintah. Pendidikan yang dipercaya dapat mengangkat bangsa ini dari kemiskinan juga biayanya semakin hari semakin melambung, yang hanya terjangkau oleh kalangan ekonomi menengah keatas. Akibatnya banyak remaja yang tidak bisa melanjutkan sekolah mereka dan memilih menikah serta mempunyai banyak anak tanpa memikirkan apa yang terjadi dengan anak-anak mereka sebagai generasi penerus 20 tahun mendatang. Sehingga pertumbuhan dan kepadatan penduduk sulit dikendalikan. Apalagi saat ini jumlah penduduk Indonesia mencapai sekitar 253 juta jiwa dengan pertumbuhan penduduk 1,3 % pertahun. Bisa dibayangkan pertumbuhan penduduk Indonesia terbilang sangat cepat. Dari data Badan Pusat Statistik menunjukkan penduduk usia belum bekerja (0-18 tahun) lebih banyak dibanding usia produktif (yang sudah bekerja). Hal ini mengakibatkan beban ekonomi semakin berat. Sehingga wajar terjadi ketimpangan ekonomi dan masalah sosial pada penduduk.

Apa yang harus kita lakukan? Tidak ada jalan lain selain mengendalikan angka pertumbuhan penduduk. Program pemerintah yaitu Keluarga Berencana (KB) dengan slogan ’Dua Anak Cukup’ yang sangat akrab dulu ditelinga kita harus terus digalakkan. Mengingat saat ini sosialisasi seperti itu tidak lagi segencar dulu. Kalau dulu ditahun 70-an, iklan layanan masyarakat tentang KB sangat sering disiarkan baik itu melalui televisi, radio, surat kabar, majalah, baliho-baliho di jalan, sampai pada lempengan uang Rp 5,- tertera gambar pasangan ayah dan ibu serta 2 orang anak mereka. Saya masih ingat waktu SD diakhir tahun 70-an, Lagu ’kebangsaan’ KB selalu terdengar melalui radio dan televisi. Bahkan sangking seringnya mendengar lagu itu, sampai saat ini saya masih ingat irama lagunya meski syair-syairnya sudah tidak hafal. Jaman sekarang, apa anak SD tahu lagu itu? Saya yakin sama sekali tidak, yang mereka tahu hanya lagunya kelompok band Ungu, Peterpan, Samsons dll. Karena hanya itu yang mereka sering dengar. Kini sosialisasi semacam itu sudah jarang ditemui. Kalaupun ada iklan alat kontrasepsi seperti kondom, hal itu lebih ditujukan untuk pencegahan penyakit menular yang berbahaya seperti HIV/AIDS. Mungkin di era tahun 70-an media yang ada TVRI dan RRI yang adalah milik pemerintah sehingga iklan-iklan pemerintah seperti KB dapat dengan mudah disiarkan. Sedangkan jaman sekarang, media swasta makin banyak, butuh dana yang tidak sedikit untuk mengiklankannya di media-media tersebut. Faktor lain karena banyak orang berpikir bahwa budaya keluarga kecil dan terencana yang digalakkan pemerintah dulu sudah mendarah daging dan teringat terus, padahal generasi ini telah berganti dan berubah sehingga perlu pengetahuan baru tentang keluarga kecil sejahtera. Faktor lain yang menyebabkan sosialisasi KB kini terasa awam bagi masyarakat, juga sangat dipengaruhi peran pemerintah daerah (akibat otonomi daerah) sangat minim terhadap masalah ini. Di daerah justru yang heboh antara lain masalah Pilkada, jarang sekali orang membahas masalah KB.

Menteri Kependudukan Nasional dan Komisi Keluarga Berencana China, Zang Weiging berkata bahwa negaranya pernah belajar dari Indonesia pada tahun 70-an soal program KB yang dinilai sukses dalam menekan angka kelahiran. Bahkan kalau di Indonesia ’Dua Anak Cukup’, di negara terpadat penduduknya didunia ini menerapkan ketentuan yang sangat ekstrim yaitu ’Satu Keluarga, Satu Anak’. Dan jika ada keluarga yang memiliki lebihdari 1 anak, maka mereka akan dikenakan denda dalam bentuk pajak. Dan hasilnya berbuah manis, negara tirai bambu ini mampu mengurangi jumlah angka kelahiran anak dan hal ini pula yang mendorong meningkatnya pertumbuhan ekonomi negara ini. Kini di China sudah diperbolehkan memiliki dua anak, bahkan pemerintah akan memberikan tunjangan jika ayah dan ibunya sama-sama adalah sarjana berpendidikan tinggi. Karena dengan demikian keluarga ini dapat menghasilkan generasi menerus yang unggul. Bisa dibayangkan, keluarga dengan pendidikan yang tinggi, tentu memiliki tingkat ekonomi yang tinggi pula, diberikan lagi tunjangan kesejahteraan dari negara, hasilnya tidak diragukan lagi.

Bagaimana dengan negara kita? Meski negara kita terbentur dengan masalah agama, suku, budaya dan adat istiadat yang bisa saja menghambat suksesnya penanggulangan masalah pengendalian jumlah penduduk ini, ada baiknya kita perlu belajar lagi pada China. Karena tidak ada kata terlambat untuk terus mengkampanyekan program KB ini. Apalagi slogan ’Dua Anak Cukup’ kini sudah berganti dengan ’Dua Anak Lebih Baik’ membuat orang akan berpikir bahwa disamping mempunyai 2 anak sudah cukup, tetapi mempunyai 2 anak juga akan menjadi lebih baik.

Tugas mengkampanyekan keluarga berencana bukan semata tugas pemerintah dalam hal ini BKKBN, namun tugas kita bersama. Tugas perempuan dan laki-laki. Karena selama ini kalau berbicara soal keberhasilan KB, pasti merujuk pada perempuan yang harus memasang kontrasepsi, minum pil KB, dll. Sedangkan laki-laki jarang sekali bahkan tidak pernah disorot. Oleh sebab itulah peran perempuan dan lak-laki sama besarnya. Karena meski pemerintah mencanangkan ’Dua Anak Lebih Baik’, tapi tidak dilaksanakan oleh masyarakatnya, maka hal itu hanya menjadi slogan belaka. Karena itu yang perlu dilakukan bersama adalah ’pancarkan’ kembali program KB ini melalui sosialisasi dan kampanye baik dari program pemerintah, media massa, sampai dari mulut ke mulut. Supaya program ini kembali mendarah daging dalam jiwa bangsa ini. Karena keberhasilan program KB adalah merupakan keberhasilan pembangunan ekonomi bangsa. Keberhasilan ekonomi bangsa adalah keberhasilan mensejahterahkan keluarga. Dan Keberhasilan mensejahterahkan keluarga adalah indikator sebuah negara yang makmur. Mari, Pancarkan Kembali, Dua Anak Cukup = Dua Anak Lebih Baik !

Kumpulan Artikel

'........melihat, mengamati,merasakan, dan menuangkannya dalam tulisan.....'